Visit this site.

Menyejukan Kemarahan

Terinspirasi dari Anthony de Mello, suatu waktu ada gadis desa yang hamil tanpa suami. Tentu saja orang tuanya mengamuk, kemudian memaksa agar puterinya menunjuk lelaki yang menghamilinya. Di tengah kekalutan, remaja belasan tahun ini kemudian menunjuk orang tua bijaksana  di pinggir hutan. Dan marahlah warga desa, kemudian ramai-ramai menyerahkan gadis hamil ini. Di tengah amukan dan cacian warga, orang tua bijaksana ini menerima gadis hamil tadi dengan  berucap tenang: “baiklah!”.

Bertahun-tahun gadis hamil ini dirawat baik. Tanpa keluhan, tanpa keributan, tanpa kemarahan. Merasa dirinya diperlakukan sangat baik, ibu muda ini dihinggapi rasa bersalah mendalam kepada orang tua bijaksana tadi. Kemudian mengaku ke orang desa bahwa bukan orang tua bijaksana  itu  yang  menghamilinya, melainkan sejumlah lelaki tidak bertanggungjawab. Maka kembalilah warga desa ke pinggir hutan sambil minta maaf. Lagi-lagi orang tua bijaksana ini berucap pelan: “baiklah”.

Di mata kepintaran, orang tua bijaksana ini  masuk kotak kebodohan, tapi di mata mahluk tercerahkan orang tua ini sudah mengalami kesempurnaan kesabaran sebagai ciri mahluk tercerahkan.

Bila boleh jujur, keseharian manusia  di mana-mana penuh kemarahan. Di Amerikat Serikat daftar kemarahan pada Barrack Obama semakin panjang. Di negeri ini, kemacetan jalan, politisi yang miskin empati, sampai korupsi yang menyentuh hati menjadi api pembakar kemarahan. Lebih-lebih ketika bencana, kemarahan pengungsi, kemarahan media, kemarahan pengamat semuanya tumpah pada tuduhan pemerintah yang lamban. Ujungnya mudah ditebak, api yang mau dipadamkan dengan api berakhir dengan keseharian yang semakin terbakar.

Merawat Kemarahan

Sejujurnya tidak ada manusia yang berniat marah. Kendati demikian, tetap saja kita digoda kemarahan. Bila digali lebih dalam, sesungguhnya manusia mewarisi bibit-bibit kemarahan dari orang tua, sekolah, lingkungan. Bibit-bibit ini kemudian disirami dengan menonton televisi yang berisi perkelahian, radio yang memberitakan kebencian, media cetak yang laris justru dengan berita kriminalitas, pemimpin yang miskin keteladanan. Sehingga tanpa perbaikan serius, manusia akan terus dibakar kemarahan.

Berbeda dengan logika sebagian ilmu kedokteran Barat yang membuang organ tubuh bermasalah,  meditasi mengajarkan untuk merawat kemarahan. Tatkala sakit kepala tidak mungkin seseorang membuang kepalanya. Melainkan  merawat kepalanya, kemudian baru kesembuhan mungkin terjadi. Hal serupa  terjadi dengan kemarahan, membuang kemarahan serupa membuang malam dan hanya mau siang.

Merawat bibit kemarahan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Memandang kemarahan secara mendalam adalah sebuah pendekatan. Sejujurnya kemarahan terjadi bukan karena godaan orang, melainkan lebih banyak terjadi karena kita sudah memiliki bibitnya di dalam. Godaan yang datang dari luar serupa angin yang meniup jerami yang sudah terbakar. Dengan demikian, memarahi mereka yang menimbulkan  kemarahan serupa dengan mengejar orang yang melempar rumah kita yang berisi bensin dengan api. Begitu balik, rumahnya sudah terbakar habis.

Karena itulah, lebih disarankan untuk merawat bibit kemarahan yang ada di dalam. Tolehlah ke dalam ketika kemarahan datang, belajar tersenyum karena senyuman menandakan Anda jadi tuan bukan korban kehidupan. Setelah tersenyum, tarik nafas pelan-pelan, rasakan segarnya hidung ketika udara masuk. Bila boleh jujur, ada rahasia kesegaran, ketenangan, kebeningan di balik ketekunan memperhatikan nafas. Disamping itu, nafas membantu manusia terhubung dengan saat ini. Karena sebagaimana kita tahu, masa lalu sudah lewat, masa depan belum datang, satu-satunya uang tunai kehidupan yang bisa dinikmati dan disyukuri adalah saat ini. Makanya, dalam bahasa Inggris masa kini disebut the present (hadiah). Indah, sejuk, lembut, penuh persahabatan dan kasih sayang, itulah hadiah buat mereka yang rajin terhubung dengan kekinian melalui memperhatikan nafas.

Di samping memperhatikan nafas, bibit kemarahan juga bisa dirawat dengan meditasi jalan. Terutama dengan melihat hakekat semua fenomena (termasuk kemarahan) yang muncul lenyap sebagaimana langkah kaki. Membadankan dalam-dalam bahwa semuanya muncul lenyap bisa menjadi awal terbukanya pintu kebebasan.

Sebagai tambahan, mengerti dengan penuh belas kasih bahwa orang yang menyakiti sesungguhnya sedang menderita, adalah pendekatan lain. Ia yang bisa melihat penderitaan orang yang menyakiti, mengalami transformasi di dalam. Dari mau menghukum menjadi mau menolong.

Keindahan Bumi

Banyak orang memimpikan tanah suci. Semacam tanah yang penuh kebahagiaan sekaligus tanpa penderitaan. Namun bagi ia yang memandang secara mendalam, membuka pintu belas kasih, tanah suci bukan saja tempat yang bisa ditemukan setelah kematian. Di bumi ini manusia bisa menemukan tanah suci. Meminjam Thich Nhat Hanh, bukan berjalan di atas air menjadi keajaiban, berjalan di atas bumi menjadi keajaiban. Terutama dengan merasakan setiap langkah berisi belaian belas kasih Ibu pertiwi.

Ini mungkin terjadi, bila pertama-tama tentu belajar menyejukkan kemarahan karena kemarahan  membuat bumi penuh api. Setelah kemarahan tersejukkan terlihat terang, kita semua sama yakni mau bahagia dan tidak mau menderita. Lebih mudah membuat bumi ini sejuk dengan melihat kesamaan-kesamaan dibandingkan bertempur tentang perbedaan.

Makanya, ketika seorang ayah ditanya putranya apakah tanah suci berisi penderitaan, dengan lembut ayahnya menjawab: “Tanah suci berisi penderitaan. Bedanya, di tempat ini penderitaan sudah diolah menjadi pupuk organik yang sudah diletakkan di bawah pohon bunga”. Inilah puncak kegiatan menyejukkan kemarahan, semua hal yang dibenci diolah menjadi pupuk organik pengertian. Kesedihan adalah sampah, namun bila bisa mengolahnya akan menjadi bunga pencerahan kemudian. Kebahagiaan adalah bunga, tapi jika tidak mampu merawatnya bisa menjadi sampah kesedihan kemudian.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More