Memasuki kantor cabang bank akhir-akhir ini, nyaris semua petugas keamanan membukakan pintu lengkap dengan senyumannya. Petugas keamanan bank seperti memberi inspirasi bagaimana membuka pintu kehidupan. Dulu, suasana seperti itu hanya ada di hotel berbintang lima.
Bila boleh bersyukur, inilah tanda-tanda kemajuan peradaban. Dunia korporasi tidak saja sedang mengeruk kekayaan materi masyarakat, namun juga menjadi kekuatan untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik.
Ini menggembirakan, karena berbeda dengan puluhan tahun lalu di mana dana penelitian dan pengembangan (sebagai barometer ke mana masa depan akan dibawa) terkonsentrasi di pemerintahan, belakangan bergeser ke dunia korporasi.
Bila penentu masa depan juga memikirkan peradaban, tidak saja kekayaan materi, sungguh sebuah kecenderungan yang membahagiakan. Setidak-tidaknya kita akan mewariskan kehidupan yang lebih beradab ke generasi berikutnya.
Akan lebih membahagiakan lagi bila dunia perbankan juga memikirkan, tidak saja mengambil keuntungan, melainkan juga memfasilitasi karyawannya menjadi motor perubahan menuju masyarakat yang jujur, berintegritas dan penuh pelayanan. Di mana-mana di dunia ini sekarang, amat berat bila meletakkan harapan perubahan hanya pada pemerintah. Tidak saja birokrasi menjadi pihak yang paling sulit untuk dirubah, namun semakin sedikit tenaga potensial yang tertarik berkarir di birokrasi. Dalam bahasa Franz Kafka, semua revolusi berhenti di birokrasi yang mandek tidak berubah.
Dalam perspektif ini, dunia perbankan dan korporasi memberi harapan akan perubahan kualitas peradaban. Cuman, tidak semua kecenderungan menggembirakan. Sebelum meletus bom teroris di Bali, suasana hotel di Bali terasa sangat beradab. Sanur, Kuta, Nusa Dua, Ubud suasana hotelnya mirip sekali dengan peradaban di Australia, Jepang dan Eropa. Rapi, teratur, tenang, saling menghormati, penuh senyuman. Namun sekarang, ketika tamu sarapan pagi terlihat jelas, di atas makanan yang disediakan ada peringatan: “Not to be taken away“. Makanan dan minuman hanya dimakan di sini, tidak untuk dibungkus dibawa pergi. Lebih dari itu, suasananya sudah mendekati pasar tradisional yang riuh dan gemuruh.
Tentu saja ini tidak melulu menjadi salah manajemen hotel. Namun, sebagaimana setiap kesalahan, ia bersifat interaktif. Setelah cerita bom Bali, porsi tamu ke Bali memang banyak yang datang dari domestik dan tamu Asia. Namun dari segi pengelola hotel juga serupa, mentang-mentang tamunya tidak berambut coklat, kualitas penanganannya tidak seberadab dulu.
Ini terbalik dengan apa yang sedang terjadi di dunia perbankan. Sehingga bila dulu perbankan belajar pelayanan ke perhotelan, mungkin sekarang saatnya perhotelan belajar pelayanan dari perbankan. Sebagaimana dituturkan rapi sejarah, dulu uang hanya lari ke pihak-pihak yang memegang kekuasaan atau kroni dekatnya. Sekarang, uang mulai banyak berputar di sekitar manusia yang mengutamakan pelayanan, kejujuran, rasa hormat pada orang lain. Jebolnya institusi keuangan di Barat mempercepat proses ini. Di Indonesia, ada perusahaan sawit yang kontrak penjualannya dibatalkan sejumlah perusahaan asing karena ditekan organisasi lingkungan Green Peace.
Ini menghadirkan daya tekan keras untuk merubah peradaban dimulai dari dunia korporasi. Dalam bahasa novelis Thomas Hardy: “Hidup adalah kesempatan untuk belajar, melayani dan mencintai”. Awalnya, mencintai dan melayani seperti mengorbankan sesuatu buat orang lain. Ada ketidakrelaan di sana karena berkorban. Namun, ketika mencintai dan melayani dilakukan terus menerus penuh ketulusan, perasaan berkorbannya menghilang, yang muncul hanyalah senyuman yang membahagiakan.
Tidak saja bibir kita yang tersenyum, seluruh isi semesta terlihat tersenyum. Rumput hijau, bunga mekar, langit biru, samudera luas, bahkan isteri cerewet pun terlihat mewakili senyuman semesta. Bukankah istri cerewet hanyalah bel kesadaran untuk senantiasa sabar dan rendah hati?
Inilah kehidupan yang pintunya sudah terbuka. Di titik ini, tidak lagi diperlukan keluhan apa lagi perkelahian. Semuanya hanya putaran waktu yang melukis keindahan. Sesederhana air di sungai, ia tidak saja sedang pulang ke rumah samudera, namun di perjalanan juga melukis keindahan.
Bila boleh bersyukur, inilah tanda-tanda kemajuan peradaban. Dunia korporasi tidak saja sedang mengeruk kekayaan materi masyarakat, namun juga menjadi kekuatan untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik.
Ini menggembirakan, karena berbeda dengan puluhan tahun lalu di mana dana penelitian dan pengembangan (sebagai barometer ke mana masa depan akan dibawa) terkonsentrasi di pemerintahan, belakangan bergeser ke dunia korporasi.
Bila penentu masa depan juga memikirkan peradaban, tidak saja kekayaan materi, sungguh sebuah kecenderungan yang membahagiakan. Setidak-tidaknya kita akan mewariskan kehidupan yang lebih beradab ke generasi berikutnya.
Akan lebih membahagiakan lagi bila dunia perbankan juga memikirkan, tidak saja mengambil keuntungan, melainkan juga memfasilitasi karyawannya menjadi motor perubahan menuju masyarakat yang jujur, berintegritas dan penuh pelayanan. Di mana-mana di dunia ini sekarang, amat berat bila meletakkan harapan perubahan hanya pada pemerintah. Tidak saja birokrasi menjadi pihak yang paling sulit untuk dirubah, namun semakin sedikit tenaga potensial yang tertarik berkarir di birokrasi. Dalam bahasa Franz Kafka, semua revolusi berhenti di birokrasi yang mandek tidak berubah.
Dalam perspektif ini, dunia perbankan dan korporasi memberi harapan akan perubahan kualitas peradaban. Cuman, tidak semua kecenderungan menggembirakan. Sebelum meletus bom teroris di Bali, suasana hotel di Bali terasa sangat beradab. Sanur, Kuta, Nusa Dua, Ubud suasana hotelnya mirip sekali dengan peradaban di Australia, Jepang dan Eropa. Rapi, teratur, tenang, saling menghormati, penuh senyuman. Namun sekarang, ketika tamu sarapan pagi terlihat jelas, di atas makanan yang disediakan ada peringatan: “Not to be taken away“. Makanan dan minuman hanya dimakan di sini, tidak untuk dibungkus dibawa pergi. Lebih dari itu, suasananya sudah mendekati pasar tradisional yang riuh dan gemuruh.
Tentu saja ini tidak melulu menjadi salah manajemen hotel. Namun, sebagaimana setiap kesalahan, ia bersifat interaktif. Setelah cerita bom Bali, porsi tamu ke Bali memang banyak yang datang dari domestik dan tamu Asia. Namun dari segi pengelola hotel juga serupa, mentang-mentang tamunya tidak berambut coklat, kualitas penanganannya tidak seberadab dulu.
Ini terbalik dengan apa yang sedang terjadi di dunia perbankan. Sehingga bila dulu perbankan belajar pelayanan ke perhotelan, mungkin sekarang saatnya perhotelan belajar pelayanan dari perbankan. Sebagaimana dituturkan rapi sejarah, dulu uang hanya lari ke pihak-pihak yang memegang kekuasaan atau kroni dekatnya. Sekarang, uang mulai banyak berputar di sekitar manusia yang mengutamakan pelayanan, kejujuran, rasa hormat pada orang lain. Jebolnya institusi keuangan di Barat mempercepat proses ini. Di Indonesia, ada perusahaan sawit yang kontrak penjualannya dibatalkan sejumlah perusahaan asing karena ditekan organisasi lingkungan Green Peace.
Ini menghadirkan daya tekan keras untuk merubah peradaban dimulai dari dunia korporasi. Dalam bahasa novelis Thomas Hardy: “Hidup adalah kesempatan untuk belajar, melayani dan mencintai”. Awalnya, mencintai dan melayani seperti mengorbankan sesuatu buat orang lain. Ada ketidakrelaan di sana karena berkorban. Namun, ketika mencintai dan melayani dilakukan terus menerus penuh ketulusan, perasaan berkorbannya menghilang, yang muncul hanyalah senyuman yang membahagiakan.
Tidak saja bibir kita yang tersenyum, seluruh isi semesta terlihat tersenyum. Rumput hijau, bunga mekar, langit biru, samudera luas, bahkan isteri cerewet pun terlihat mewakili senyuman semesta. Bukankah istri cerewet hanyalah bel kesadaran untuk senantiasa sabar dan rendah hati?
Inilah kehidupan yang pintunya sudah terbuka. Di titik ini, tidak lagi diperlukan keluhan apa lagi perkelahian. Semuanya hanya putaran waktu yang melukis keindahan. Sesederhana air di sungai, ia tidak saja sedang pulang ke rumah samudera, namun di perjalanan juga melukis keindahan.
"http://gedeprama.blogdetik.com/2012/02/06/membuka-pintu-kehidupan/"
0 comments:
Post a Comment